Minggu, 07 Juni 2015

Pelangi Di Ujung Badai


PLAKK !!!

Semua mata tertarik pada keributan di belakang stage ketika bandku baru saja selesai perform. Adalah ayahku yang menghadiahkan sebuah tamparan keras karena masihnya aku berada di panggung untuk meneruskan minatku di dunia musik. "Stop all diesen unsinn!" perintahnya dalam bahasa Jerman yang berarti "Hentikan semua omong kosong ini!". Aku yang shock bercampur geram hanya bisa mengepalkan kedua tanganku tanpa bisa berbuat apa-apa.

....

Kejadian itu  berlangsung sekitar 2 tahun lalu ketika aku masih berumur 18 tahun. Aku yang memang menggilai seni olah vocal memilih untuk melanjutkan pendidikanku ke universitas musik internasional yang memang berada tidak jauh dari tempat tinggalku. Sebenarnya ibuku telah mewanti-wanti sebelumnya, agar aku mengikuti perintah ayahku untuk melanjutkan bakatku di dunia persepakbolaan dengan masuk ke sekolah olahraga nasional sesuai keinginan ayahku.

Ayahku yang seorang Jerman adalah pemain saham serta CEO sebuah perusahaan sport terkemuka memang sangat menggilai sepak bola, dan selalu berharap aku, anak semata wayangnya yang dapat menyalurkan obsesinya kepada olahraga si kulit bundar itu. Sayangnya keinginan itu kontradiktif dengan darah seni ibuku yang seorang penyanyi jazz, dan darah musik itulah yang dominan berada di tubuhku saat ini.

Aku memang tidak terlalu dekat dengan ayahku, rutinitas padatnya hanya memanjakanku dengan materi, kasih sayangnya selalu tercurahkan pada saham dan perusahaan tempat ia bekerja, tak jarang pula ia pergi ke beberapa negara untuk waktu 2-3 bulan lamanya untuk mengurus pekerjaanya. Ketika ia tak ada di rumahlah kesempatanku untuk tampil di acara musik dapat terlaksana. Ketika dia berada di rumah pasti aku selalu mengikuti perintahnya untuk berlatih sepak bola di SSB dekat rumahku.


Di kelulusan SMA ayahku sedang berada di Perancis, membuka cabang baru perusahaan perusahaannya di distrik Paris. Sehingga aku bebas untuk menentukan pilihan kemana aku akan melanjutkan study. Akhirnya pasca kejadian penamparan itu aku langsung dikeluarkan dari universitas music pilihanku dan ayahku serta merta menentukan kelanjutan pendidikan ke Sekolah Olahraga Nasional. Meskipun bathinku bergejolak, aku hanya dapat menurutinya tanpa bisa berbuat apa-apa. 


Sampai akhirnya keinginan ayahku terkabul, debutku di Timnas Indonesia U-21 terwujud ditahun berikutnya, di umur 19 tahun aku mendapatkan kesempatan bermain walaupun dari bangku cadangan. Di pertandingan ke 4 saat aku menjadi starter, goal debutku untuk Timnas U-21 pun hadir di pertandingan uji coba vs Iran  U-21  yang berkesudahan 1-0 untuk kemenangan garuda muda.



Dipertandingan selanjutnya pun aku selalu menjadi pilihan utama pelatih, dengan nomor punggung 20 dan menempati posisi sebagai striker murni , banyak yang membuat pernyataan aku adalah the next Bambang Pamungkas. yang justru hal itu memberikan pressure yang sangat berat untukku yang baru memasuki umur ke20. Total 15 caps dengan 3 goal membuatku mendapatkan panggilan dari Timnas Senior. Di titik ini aku merasa limbung, jenuh dengan tekanan dari ayahku dirumah dan media di luar sana, aku memutuskan hengkang dari dunia sepakbola. Tentu ayahku sangat murka mendengar hal itu, sampai akhirnya pertengkaran besar terjadi dirumah yang berbuntut keluarnya aku dari rumah yang penuh tekanan itu. Sebenarnya sosok ibuku sangat berat aku tinggalkan. Tapi jika aku tetap stay di rumah, maka selalu ada tekanan dari ayahku. Aku muak.

Akhirnya aku menjadi seorang musisi, mengikuti instingku untuk terus bergelut di dunia musik, mengikuti setiap aliran darah seni ibuku yang terus memompa adrenalinku untuk terus berkarya.

Di akhir tahun ketika aku berusia genap 21tahun, aku memiliki rumah sederhana sendiri atas keringatku menyayi dari cafe ke cafe, kadang mengisi acara di event, dan secara sembunyi-sembunyi ibuku beberapa kali mentransfer ku sejumlah uang tanpa sepengetahuan ayahku.

Di akhir tahun ini pun aku mendengar bahwa ada konser MUSE di dekat rumahku di Jerman, aku memutuskan untuk menonton konser band favoriteku itu, yang justru malah melibatkanku pada dunia sepakbola kembali, tetapi kini aku tetap dapat melanjutkan sebagai musisi tanpa harus terjadwal pelatihan setiap harinya, tugasku kini meramu sebuah keharmonisan team dengan racikan formasi yang tepat untuk membuahkan kemenangan, aku pun selalu menganggapnya sebagai distorsi nada di alunan musik yang aku geluti.

Akhirnya setelah mendengan kabar bahwa aku berada dalam lingkungan sepakbola kembali, ayahku sekali pernah berkunjung ke Venlo, untuk menemuiku dan berbicara 4 mata antara 2 orang pria dewasa. Akhirnya dia berujar " Ayah minta maaf jika dulu selalu mengekangmu dengan obsesi ayah, kini kau sudah dewasa, kau berhak menentuka sendiri sikapmu". Lalu akupun melihat sorot matanya yang kini jauh lebih teduh, aku sempat mendengar memang dari ibuku saat aku pergi dari rumah, ayahku terlihat sangat menyesal atas semua sikapnya. Lalu aku pun berujar pelan "Sebelum kau meminta maaf pun aku tak pernah menganggap kau berbuat salah kepada hidupku, atas tekananmu aku bisa mengerti dasar pertandingan sepakbola yang kini menjadi pekerjaanku sekarang sebagai manager, aku justru berterimakasih atas semuanya".

2 cangkir teh manis di ruang manager Venlo, menjadi saksi bisu menghangatnya hubungan seorang anak dan ayah yang sempat membeku, selalu ada pelangi diujung badai.

  


Kamis, 04 Juni 2015

Berawal dari konser MUSE


Venlo !!!


 Kota perbatasan Jerman-Belanda ini menjadi persinggahanku ketika mengikuti World Tour MUSE, band favoriteku. Terlebih lagi kebetulan memang ada beberapa keluargaku stay di Cologne, Jerman, jadi aku bisa menginap gratis selama perjalananku disini.

 Oh iya!!! Aku lupa memperkenalkan diri.  Aku Bambang Baskoro, seorang Indonesia berdarah setengah Jerman, mantan pesepakbola punggawa TIMNAS U-21 yang memutuskan gantung sepatu di usia 21tahun ketika mendapatkan pemanggilan TIMNAS Senior. Carut-marutnya wajah sepakbola negeriku membuatku jengah. Lalu akupun mengikuti instingku di dunia musik, Ya. Aku sekarang seorang musisi, pengamen antar cafe, rutinitas yang sangat mengasyikan dan cukup untuk menghidupiku sampai detik ini. Beberapa rumah produksi dan label sempat berminat menawariku kontrak. Tapi aku menolak, lagu selera pasar  yang tak sejalan dengan ideologi musikku adalah point utama kenapa aku tak pernah mau terikat kontrak dengan label manapun.

 Singkat cerita, kini sekarang aku sedang mengikuti jadwal MUSE Europe Tour yang kebetulan mengadakan konser mereka yang dekat dengan rumah keluargaku di Jerman, "sekalian liburan" pikirku.

2 Tiket untuk Amazon Artist Spotlight, Cologne, Jerman dan Pinkpop Festival di Venlo, Belanda, sudah ada tanganku sekarang. Malam ini jadwal perma Jerman adalah tujuan pertama.

Dan ternyata konser MUSE disini menggila, penonton histeris dan kompak menyayikan hymne utama muse "Hysteria", menitikkan airmata di saat mereka  membawakan "Unintended". Terasa masih merinding bulu kudukku ketika aku mengingat atmosfir malam itu.




Sadis, malam selanjutnya pun Venlo dihibur tanpa jeda. Puas hati full atas penampilan mereka. Aku pun bertemu teman baru ketika berada di Venlo, Gus Joopen(24tahun).  Dia adalah seorang pemain bola profesional di Jupiler League, Kami cepat akrab dengan topik obrolan musik yang sejalan. Jazz adalah pilihan kami. Ia pun sempat sedikit bercerita tentang krisis kepercayaannya terhadap klub tempat ia berada kini, VVV Venlo. Dia merasa dengan kemampuannya, seharusnya ia bermain di kasta yang lebih tinggi, Eredivisie. Padahal dalam hati aku sempat berfikir ( disini, Jupiler league jauh lebih baik daripada wajah persepakbolaan negeriku, Indonesia ).

Dia pun bercerita bahwa manager klubnya sekarang sedang berada dalam masalah korupsi yang memungkinkan ia akan dipecat, dengan begitu keinginan Jopen, sahabat baruku lebih besar dan ingin segera pergi dari VVV Venlo.

Dengan iseng akupun berujar padanya "bagaimana jika aku saja yang menjadi manager di klubmu sekarang, kita bisa menonton konser MUSE bersama, menikmati Jazz bersama, serta kau harus mengenalkanku pada wanita cantik di Venlo". 

Keesokan harinya aku di telepon Jopen untuk segera ke De Koel, stadion tempat ia berlatih. Rupanya managernya terdahulu semalam sudah dipecat, dia memintaku untuk segera applying job untuk menjadi manager di klub tersebut. 

GILA !!!!

Ini GILA, seorang penyanyi cafe menjadi manager sebuah tim Eropa?! Rupanya status key Player yang disandang Jopen dapat membuat owner club mempertimbangkan permintaannya untuk mencoba judi menjadikan seorang pemuda 21 Tahun untuk menjadi manager klubnya. Dengan sedikit keberanian serta kesadaranku yang belum sepenuhnya terkumpul pagi ini, aku menandatangani kontrak berdurasi 1 tahun untuk menjadi manager klub ini. Tanpa pengalaman sama sekali. Aku akan menuliskan sekali lagi untuk sebuah penegasan.

ini GILA !!!!




Disinilah sekarang aku berada. Manager muda 21tahun, De Koel Stadium, Venlo. Jujur sebelumnya aku tak pernah menyangka dampak dari menonton konser dapat menjadikan hidupku berubah secara signifikan.

Di hari pertama aku langsung melihat latihan team utama yang sudah mulai di pagi hari yang dingin. Maklum, aku adalah seorang manager dari negara beriklim tropis. Seorang pemain berumur 24tahun menjadi titik pantauku saat itu, Abdelaziz Khalouta, penempatan posisi yang tepat serta logicnya yang selalu berjalan beriringan dengan matanya menjadikannya seorang penyerang yang bervisi, langsung mengingatkanku pada sosok Wayne Rooney, striker pembunuh haus goal yang bisa berada di posisi manapun dengan visi luar biasa.



Keesokan harinya, bersamaan dengan jeda internasional, aku memutuskan untuk terbang ke London, bukan. jika sebelumnya aku mengunjungi beberapa negara Eropa untuk menonton konser MUSE, kali ini tujuanku adalah akademi tim-tim BPL, karena menurut pengamatanku, skuad yang kumiliki saat ini tidak cukup menjamin untuk meloloskan kami di musim selanjutnya ke Eredivisie. Ternyata kunjunganku ke tanah Britania Raya ini tidak sia-sia, aku berhasil bernegosiasi dengan klub BPL untuk meminjamkan pemain akademinya dengan catatan aharus berada di skuad utama. Mereka yang ikut denganku kembali ke Venlo antara lain, (J.Pereira, J.Harrop, Thorpe, Linus) dari M.U U-21, Musonda dari Chelsea U-21, Jack Dunn dari Liverpool U-21 serta Browning dari Everton U-21.

Sepulangnya aku ke Venlo, ada seorang agen yang menawarkan pemain asal Brasil yang menjadi clientnya saat ini, Cris, dengan postur mumpuni 183cm dan umur 37tahun kukira free transfer adalah pilihan alternatif jika nantinya pemainku ada yang cidera.

Kini deangan tambahan beberapa pemain dari akademi BPL, aku kira skuadku sudah cukup mumpuni untuk bersaing di Jupiler League musim ini.



Dengan beberapa pilar seperti Thorpe yang cidera justru tim ini membuat owner club takjub, dengan catatan 13 week undefeated hingga saat ini.



Apakah karirku kali ini adalah takdir? apakah sebuah tiket konser MUSE adalah jalan pembuka takdir itu? Bagaimana skuad VVV Venlo diakhir musim nantinya? apakah lolos ke Eredivisie? atau aku harus menunggu lebih sabar untuk musim berikutnya?

Nantikan kelanjutan kisah manager kece ini bersama VVV Venlo dalam edisi menjajah Belanda di post selanjutnya !!

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Copyright © FM STORY | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | BTheme.net      Up ↑